Photo by Markus Spiske / Unsplash

Perkembangan Kondisi Ekonomi

Mengamati perekenomian di kuartal ketiga menjadi penting setelah Indonesia melewati kuartal kedua yang cukup berat yang dikarenkan oleh penyebaran penyakit Covid – 19 yang terjadi di seluruh negara. Selama tiga bulan di kuartal ketiga sudah terjadi banyak titik balik dimana angka – angka perekonomian menunjukan kontinuitas kenaikan dari bulan Juni dimana perekonomian Indonesia, khususnya Jakarta, kembali dibuka.

Kasus positif Covid – 19 di Indonesia mengalami peningkatan di kuartal ketiga seiring dibukanya kembali kegiatan ekonomi di berbagai sektor. Di bulan Juni, Indonesia mencatatkan kasus positif harian di kisaran 1000 kasus, sementara di bulan September menjadi kisaran 3500 kasus per hari. Hal tersebut tentunya membuat kekhawatiran akan terjadinya gelombang kedua penyebaran pandemi setelah terjadi pada pertama kali pada bulan Maret. Jakarta, sebagai pusat perekonomian, akhirnya melakukan PSBB penuh pada akhir kuartal ketiga.

PMI Manufacturing Indonesia terus tumbuh mendekati zona ekspansi di level 50, dan sempat mencapai 50,8 di bulan Agustus. PMI Manufacturing pernah jatuh di bawah level 30 pada kuartal kedua. Penjualan mobil dan motor sudah naik perlahan – lahan meski masih pada level pertumbuhan negatif dibanding tahun lalu. Kegiatan ekspor kembali naik setelah terutama dari sektor komoditas setelah dibukanya kembali perekonomian dunia sehingga kegiatan produksi kembali berlangsung dan membutuhkan restocking bahan baku. Di sisi lain, kegiatan impor masih belum ada kenaikan yang berarti. Karena ekspor yang masih lebih tinggi dari impor, maka surplus perdagangan terus berlanjut memasuki lima bulan berturut – turut. Sebagai catatan atas impor yang masih stagnan adalah karena permintaan akan barang dan jasa yang masih lemah. Kita dapat melihat index keyakinan konsumen yang masih di bawah level 90 (level pesimis <100< level optimis) selama 6 bulan terakhir sejak April.

Pemerintah dan Bank Indonesia secara bersama menerapkan kebijakan fiskal dan moneter yang ekspansif. Saat ini yang terpenting bagi pemerintah adalah bagaimana seluruh lapisan masyarakat memiliki kemampuan untuk terus berkonsumi dan meneruskan bisnis meskipun diterpa oleh tantangan ekonomi yang berat. Akibat pandemi Covid – 19 ini, terdapat 3,5 juta pekerja yang di – PHK dan mengacu pada program Kartu Prakerja, terdapat lebih dari 33 juta pekerja yang memerlukan bantuan karena terdampak pandemi ini. Maka pemerintah dengan cepat menyusun dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dimana angka tersebut mencapai Rp 695,2 triliun. Dana tersebut memberikan perhatian alokasi pada anggarana kesehatan Rp 87,55 triliun, anggaran perlindungan social Rp 203,9 triliun, insentif usaha Rp 120,6 triliun, UMKM Rp 123,5 triliun, pembiayaan korporasi Rp53,6 triliun dan dukungan sectoral K/L dan Pemda Rp 106,1 triliun. Defisit anggaran yang awalnya ditetapkan 1,76% melebar menjadi 6,3% atau Rp 1.039.2 triliun. Untuk mengalokasikan dana PEN, maka terjadi perubahan postur alokasi APBN 2020 dimana diantaranya adalah pergeseran pagu anggaran antar unit organisasi dan antar program untuk menghadapai ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan sistem stabilitas sistem keuangan, penggunaan saldo kas Badan Layanan Umum, penggunaan dana hibah, dana penanggulanan bencana alam dan lain lain. Sampai pada akhir kuartal ketiga, dana PEN yang sudah terpakai sebesar 44%. Pemerintah optimis bahwa sampai akhir tahun, tingkat penggunan dana PEN akan mencapai level di atas 90%.

Sementara itu, dalam RAPBN 2021 yang dikeluarkan pada Agustus, fokus Pemerintah akan terbagi dalam 4 hal yaitu: (i) mempercepat pemulihan eknomi pasca Covid – 19, (ii) memperkuat reformasi structural untuk meningkatkan produktifitas, inovasi dan daya saing, (iii) mempercepat transformasi ekonomi berbasis digital, (iv) mengoptimalisasi perubahan demografi ke dalam perekonomian. Pemerintah memperkirakan defisit anggaran akan berada pada kisaran -5,5% PDB. Menurut kami defisit tersebut masih bisa bergeser jika kebutuhan anggaran bertumbuh seiring dengan kebutuhan dalam pemulihan kondisi ekonomi.

Dari kebijakan moneter Bank Indonesia mempertahankan suku bunga acuan BI 7D RRR dan menjaga cadangan devisa yang cukup tinggi di atas USD 135 milyar di kuartal ketiga. Bank Indonesai mampu menjaga kestabilan nilai tukar yang bergerak pada range Rp 14.400 – Rp 14.900/USD dan inflasi 2,5% +/- 1%.

Selain itu, Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan telah menyepakati untuk berbagi beban (burden sharing) dalam melaksanakan penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional sebesar Rp 903,4 triliun. Skema burden sharing didasarkan pada kelompok penggunaan pembiayaan untuk public goods (menyangkut hajat hidup orang banyak, terdiri dari pembiayaan di bidang kesehatan, perlindungan sosial, serta sectoral kementerian/lembaga dan Pembda) dan non – public goods (menyangkut upaya pemulihan ekonomi dan dunia usaha misalnya UMKM, Korporasi, dan lainnya). Untuk pembiayaan public goods sebesar Rp397,6 triliun, beban akan ditanggung seluruhnya oleh BI melalui pembelian Surat Berharga Negara (SBN) dengan mekanisme private placement dimana BI akan mengembalikan bunga/imbalan yang diterima kepada Pemerintah secara penuh. Sementara itu, untuk pembiayaan non-public goods sebesar Rp 505,9 triliun yang terbagi dalam pembiayaan UMKM dan korporasi sebesar Rp 176,9 triliun, Bank Indonesia melakukan pembelian SBN dimana berkontribusi sebesar selisih bunga pasar (market rate) dengan BI reverse repo rate 3 bulan dikurangi 1%, dan non – public goods lainnya sebesar Rp 329 triliun, Bank Indonesia akan melakukan pembelian SBN sesuai bunga pasar. Jika dihitung, total kontribusi Bank Indonesia atas pembelian SBN adalah sebesar Rp 36,4 triliun. Sampai pada akhir September tercata Bank Indonesia sudah melakukan Private Placement untuk Public goods sebesar Rp183,48triliun.

Perkembangan Kondisi Pasar Modal di Kuartal Ketiga 2020

IHSG masih relatif stagnan selama kuartal ketiga yang ditutup pada level 4,870 (akhir Juni di level 4.905), dimana IHSG sempat menyentuh level tertinggi di 5.371 di Agustus. Namun karena adanya ketakutan peningkatan jumlah pasien positif covid-19 di Indonesia dan khususnya Jakarta, maka PSBB ketat kembali diberlakukan di Jakarta. Meskipun PSBB kedua ini tidak seketat yang pertama, namun masyarakat kembali berhati – hati dalam menjalankan aktifitas. Dengan demikin, keyakinan investor yang sudah mulai naik di Juli dan Agustus, kembali terpukul di September. Sampai pada akhir kuartal ketiga, IHSG masih mencatatkan koreksi -22,7% ytd.

Berbeda halnya dengan pasar obligasi dimana terjadi rally yang cukup signifikan. Obligasi pemerintah 10 tahun yang dimulai pada level 7,24% turun 63bps ke 6,61% di Agustus sebelum akhirnya tutup di 6,93% pada September. Penurunan yield dari obligasi pemerintah disebabkan karena adanya kesepakatan burden sharing yang dilalukan oleh Bank Indonesia dengan Kemenkeu yang memberikan isyarat kepada market bahwa pemerintah sudah mengamankan pendanaan yang cukup untuk melaksanakan programnya terutama program pemulihan ekonomi nasional. Dengan demikin obligasi pemerintah tidak akan ditawarkan pada yield yang lebih tinggi yang dapat menyebabkan harga obligasi yang ada kembali jatuh. Maka dari itu, investor menjadi yakin untuk membeli obligasi pemerintah Indonesia. Di bulan September, obligasi pemerintah terjadi koreksi karena adanya kabar tentang pembentukan Dewan Moneter di Bank Indonesia. Hal tersebut membuat para investor global dan domestik menjadi khawatir akan independensi Bank Indonesia yang selama ini sudah terbangun dengan baik. Pemerintah membantah adanya agenda tersebut dan berkomitmen untuk terus menjaga kredibilitas Bank Indonesia yang sudah tinggi di pasar domestik dan global.

Prospek Pasar Modal di Kuartal Keempat 2020

Setelah enam bulan sejak kasus pertama Covid-19 di Indonesia, masyarakat mulai waspada dan lebih paham akan cara pencegahan dan penyembuhan penyakit ini. Pemerintah cukup baik melakukan penanganan sehingga Indonesia tidak menjadi salah satu epicentrum penyebaran penyakit ini. Secara umum, seluruh lapisan masyarakat ikut serta dalam memprioritaskan kesehatan sebagai keutamaan saat ini. Maka dari itu, kami mulai menyarankan investor untuk mulai masuk ke kelas aset saham dengan harapan bahwa pemulihan ekonomi akan terjadi satu tahun kedepan. Selain itu, pemerintah masih menyisakan 55% dana pemulihan ekonomi yang cukup besar di 3 bulan terakhir untuk dipergunakan sehingga konsumsi dan perekonomian masyarakat dapat terjaga. Vaksin menjadi kunci untuk memulihkan kepercayaan konsumen dan produsen untuk kembali beraktifitas secara penuh, dan diharapkan dapat mulai diberikan secara bertahap pada tahun depan. Kami juga melihat dalam waktu dekat pemilu di Amerika Serikat membuat investor global wait and see. Namun hal tersebut bisa menguntungkan negara berkembang termasuk Indonesia apabila Joe Biden terpilih dengan asumsi perdagangan global akan membaik. Target IHSG kami berada pada range 5,200 – 5300 untuk tahun ini dan 5,800 – 6,000 untuk tahun 2021.

Seperti yang kami sarankan pada laporan kuartal sebelumya, kami sangat optimis terhadap pasar obligasi Indonesia dimana masih menawarkan yield yang sangat kompetitif dengan inflasi yang rendah (kisaran 1,5%). Selain itu, hedging cost juga sudah konsisten di bawah 6% sehingga bisa menambah minat investor asing untuk kembali menambah kepemilikan obligasi Indonesia. Kami melihat hal ini akan terus terjadi karena kami percaya bahwa negara – negara maju seperti Amerika Serikat masih akan menahan suku bunga pada level rendah untuk waktu setidaknya satu tahun ke depan. Sementara itu, The Fed juga mengatakan akan membiarkan inflasi naik melebih level 2% dimana artinya real yield investor akan berada pada zona negatif untuk waktu yang cukup lama jika tetap berada seluruhnya pada obligasi lokal. Maka dari itu, kemungkinan besar investor global akan memburu obligasi dengan imbal hasil yang lebih tinggi. Selain itu, Rupiah bisa stabil untuk beberapa waktu kedepan karena neraca dagang (trade balance) menunjukan surplus yang konsisten dalam lima bulan terakhir sampai September sehingga kemungkinan Indonesia dapat memiliki transaksi berjalan surplus (current account surplus) untuk kuartal ketiga. Target yield obligasi pemerintah 10 tahun kami berada pada range 6,5% - 6,75% di tahun ini.


DISCLAIMER

‌Pendapat yang diungkapkan dalam artikel adalah untuk tujuan informasi umum saja dan tidak dimaksudkan untuk memberikan saran atau rekomendasi khusus untuk individu atau produk keamanan atau investasi tertentu. Ini hanya dimaksudkan untuk memberikan edukasi tentang industri keuangan. Pandangan yang tercermind dalam konten dapat berubah sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan. Seluruh data kinerja dan return investasi yang tertera di artikel ini tidak dapat digunakan sebagai dasar jaminan perhitungan untuk membeli atau menjual suatu efek. Data tersebut merupakan catatan kinerja berdasarkan data historis dan bukan merupakan jaminan atas kinerja suatu efek di masa mendatang. Investasi melalui reksa dana mengandung risiko. Investor wajib membaca dan memahami prospektus sebelum memutuskan untuk berinvestasi melalui reksa dana.