
Bulan Oktober menjadi titik balik keraguan investor pasar modal terhadap beberapa penantian atas katalis baru yang dapat memperbaiki perekonomian. Meskipun tantangan masih cukup besar, namun data ekonomi memberikan isyarat akan pemulihan ekonomi yang sedang berlangsung. Hal tersebut dapat kita lihat pada kestabilan Rupiah, likuiditas yang sangat besar, inflasi yang cukup aman, dan penjualan kendaraan yang terus meningkat. Meskipun demikian, rendahnya pertumbuhan kredit, IKK dan PMI Manufacture masih memberikan tanda bahwa ekonomi masih perlu di-support dengan kebijakan fiskal dan moneter yang tepat serta partisipasi dari pengusaha untuk mulai meningkatkan aktifitas bisnis seiring dengan mulai stabilnya angka kasus positif covid-19 dan kemungkinan ditemukannya vaksin semakin besar.
Secara nasional jumlah pasien Covid-19 pada Oktober sudah tidak mengalami kenaikan signifikan dan bahkan cenderung menurun untuk kasus harian yang berada pada angka dibawah 3000 kasus per hari. Sedangkan di Jakarta sejak status PSBB kembali diubah menjadi PSBB transisi, jumlah kasus positif harian justru menurun di bawah 1000 kasus per hari. Hal tersebut tentu cukup baik, dan pemerintah tetap terus menyuarakan social distancing dan terus memakai masker sebagai bagian dari protokol kesehatan.
Meskipun angka positif harian sudah bisa terkontrol, namun kami melihat pelaku bisnis masih cukup berhati-hati untuk mengambil resiko kembali. Terlebih PSBB yang kembali diberlakukan di Jakarta dan beberapa kota lain membuat perusahaan untuk mengurangi tenaga kerja, persediaan dan aktifitas pembelian. Hal tersebut terefleksi pada data PMI Manufacture dan IKK yang masih belum menguat.
Bulan Oktober menjadi bulan yang penting dimana pemerintah dan parlemen berhasil mencapai kesepakatan untuk mengesahkan omnibus law yang dinantikan, terutama Undang – undang Cipta Kerja. Dengan omnibus law ini diharapkan dapat menarik minat investor asing dan lokal untuk menjadikan Indonesia sebagai basis produksi dengan menyerap tenaga kerja yang banyak. Hal ini dilihat sebagai win – win solution bagi pemerintah yang menginginkan investasi baru dan mengatasi masalah pengangguran yang meningkat terutama dengan adanya pandemi covid-19; bagi investor yang menjawab permasalahan perijinan, bagi UMKM yang mencari pendanaan dan bagi pencari kerja yang menginginkan kesempatan lapangan pekerjaan yang lebih banyak.
Nilai tukar Rupiah selama bulan Oktober cukup stabil dan cenderung menguat dimana dana asing yang masuk ke pasar keuangan Indonesia cukup besar. Kedepannya Rupiah diperkirakan masih akan terus menguat karena imbal hasil yang ditawarkan di pasar obligasi Indonesia masih cukup menarik, defisit transaksi berjalan masih rendah dan kebijakan stabilisasi nilai tukar yang dilakukan oleh BI melalui operasi moneter.
Per bulan Oktober, pemerintah melalukan realisasi dana Pemulihan Ekonomi Nasional sebesar 52% dari total dana Rp 695 triliun. Berarti pemerintah masih menyisakan dana sekitar Rp 333 triliun di sisa dua bulan pada tahun 2020. Tentu hal tersebut akan memberikan likuiditas yang semakin besar seperti terasa saat ini. Posisi M2 dan M1 pada level yang sangat tinggi sementara pertumbuhan kredit sangat rendah. Dapat dipahami bahwa permintaan akan barang masih rendah sehingga permintaan akan kredit juga masih rendah dan ekspektasi ekonomi masih pesimistis. Namun dengan menurunnya bunga deposito dan kredit dari bulan ke bulan serta pelonggaran lending standard, kami percaya perlahan – lahan permintaan kredit akan kembali naik. Apalagi didukung dengan adanya vaksin yang diharapkan mulai dapat disebarkan tahun depan. Kami melihat kunci dari pemulihan ekonomi ada pada kelompok kalangan menengah keatas mulai berani untuk menggunakan dananya baik untuk konsumsi maupun aktifitas bisnis. Sementara itu, pemerintah tetap memberikan stimulus kepada kelompok pendapat bawah agar tetap dapat menjalankan roda perekonomian.
Seperti yang kami sarankan pada report bulanan sebelumnya, kami masih sangat positif terhadap aset kelas pendapatan tetap atau obligasi karena sejumlah landasan pemikiran seperti imbal hasil yang baik, rupiah yang stabil dengan hedging cost dibawah 5%, inflasi yang rendah sehingga real yield cukup tinggi dan bisa menurunkan suku bunga sekali lagi, dan kemungkinan yang kecil bagi pemerintah untuk menawarkan yield tinggi karena pendaan yang diperkirakan sudah memadai. Selain itu, likuiditas global yang besar sedang mengalir ke Emerging Market mengingat pemilu US sudah berakhir dan Presiden US yang terpilih lebih disukai investor dimana diharapan pemerintah US akan lebih membuka diri dan perekonomian global dapat lebih diuntungkan dengan kerja sama baru. Kami masih tetap melihat peluang yang baik untuk obligasi Rupiah Indonesia sampai semester pertama tahun 2021.
Di sisi pasar saham, kami melihat ada beberapa ekspektasi sudah terjadi seperti pengesahan omnibus law, PSBB Jakarta sdh berubah menjadi PSBB transisi, stimulus pemerintah semakin dipercepat dan penantian pemilu US sudah selesai. Hal tersebut yang membawa IHSG rally cukup banyak. Namun, secara fundamental kami melihat pertumbuhan EPS tahun ini akan berada pada -20% yoy. Target tahun IHSG kami masih berada pada kisaran 5,200 – 5,400 dengan standard deviasi +1. Kami melihat tantangan masih besar untuk memulihkan keyakinan para konsumen untuk mulai melakukan aktifitas normal seperti melakukan pembelian, perjalanan, dan lain – lain. Konsumsi masyarakat dapat pulih bila penyebaran covid – 19 sudah bisa terkendali seperti angka positif harian sudah turun dan vaksin dapat disebar luas. Hal tersebut tentu akan berdampak pada pendapat perusahaan yang menjadi fundamental pergerakan IHSG. Kami percaya konsumsi akan kembali pulih namun membutuhkan waktu. Begitu pula dengan perbaikan fundamental saham yang sedang terjadi saat ini. Maka dari itu bagi investor yang memiliki investment horizon yang lebih jauh, maka membeli saham di saat sekarang akan memberikan hasil optimal untuk jangka panjang.
Inflasi cukup stabil

Indonesia akhirnya kembali mencatatkan inflasi ringan 0,07% mom setelah sebelumnya tiga bulan berturut - turut mencatatkan deflasi. Inflasi yang terdiri dari volatile food and administered prices masing – masing mencatatkan inflasi 0,4% mom dan deflasi 0,15% mom. Dalam volatile food yang mengalami kenaikan ringan adalah cabe merah, bawang merah dan minyak goreng, sedangkan yang mengalami penurunan adalah ayam dan telur broiler. Sementara itu, kelompok administered price mengalami penurunan pada tariff listrik dan tarif angkutan udara dalam menyambut hari libur di akhir Oktober. Secara tahun inflasi masih berada pada level 1,44% yoy.
Inflasi inti (core inflation) masih terus mengalami penurunan di level 1,74% yoy dari bulan sebelumnya 1,86% yoy. Hal tersebut dikarenakan oleh permintaan domestik yang belum kuat, harga komoditas yang melemah dan nilai tukar yang stabil.
Ekspor kembali bertumbuh dan impor yang berangsur naik

Bulan September menunjukan peningkatan kembali kegiatan ekspor Indonesia yang naik 6,97% mom atau hanya menyisakan perbedaan yang sedikit dengan nilai ekspor tahun lalu di -0,51%. Hal tersebut tentu menggembirakan karena menunjukan perekonomian global yang semakin membaik dengan permintaan demand yang tumbuh setelah penyebaran pandemi di kuartal kedua. Peningkatan ekspor non-migas yang paling mencuat adalah ekspor besi dan baja, dibandingkan dengan perhiasan/logam mulia yang mengalami penurunan dalam ekspor. Namun ekspor non – migas masih di dominasi minyak kelapa sawit.
Impor di bulan September kian membaik, dengan kenaikan 7,71% mom dan secara tahunan terus naik meskipun masih di zona negative -18,9% yoy (Agustus -24,2% yoy). Hal yang menarik diperhatikan adalah adanya kenaikan import dari golongan mesin dan peralatan mekanis yang dianggap sebagai barang modal untuk produksi sebesar 6,28% mom.
Peningkatan pada ekspor Indonesia tentu membantu dalam kondisi saat seperti ini dimana permintaan barang domestik belum pulih. Neraca perdaganagan Indonesia mencatatkan surplus berturut – turut untuk lima bulan dan trend tersebut terjadi pada sebelum tahun 2018 dimana nilai ekspor Indonesia sering melampaui nilai impor.
Stimulus fiskal pemerintah menjadi salah satu meningkatnya likuiditas

Pertumbuhan kredit kembali turun di 0,12% yoy di bulan September, lebih rendah dari bulan sebelumnya 1,04% yoy. Bank Indonesia menjelaskan bahwa pelemahan tersebut karena fungsi intermediasi dari sektor keuangan masih lemah akibat pertumbuhan kredit yang terbatas sejalan dengan permintaan domestik yang belum kuat dan kehati-hatian perbankan akibat berlanjutnya covid – 19. Di sisi lain pertumbuhan DPK naik 12,88% yoy pada bulan September yang menunjukan minat pelaku bisnis yang masih rendah dan cenderung untuk saving. Pertumbuhan kredit pada tahun 2020 berdasarkan survei akan berada pada 2,5% yoy, lebih rendah dibandingkan dengan realisasi pertumbuhan kredit 2019 sebesar 6,1% yoy. Kebijakan pelonggaran likuiditas dan penurunan suku bunga 7DRR mendorong penurunan suku bunga deposito dan kredit pada September 2020 menjadi 5,18% dan 9,88% dari bulan sebelumya 5,49% dan 9,92%.
Posisi M1 dan M2 naik masing – masing 17,65% yoy dan 12,3% yoy masing – masing pada bulan September yang tetap masih didorong oleh dampak ekspansi fiskal pemerintah. Salah satunya dana Penyelamatan Ekonomi Nasional. Per akhir Oktober dana PEN yang telah disalurkan adalah sebesar 52% dari Rp 695,2 trn, naik dari akhir dan awal bulan September di 44% dan 31%.
Kestabilan Rupiah menjadi salah satu kunci inflow masuk ke Indonesia selama bulan Oktober

Suku bunga acuan BI 7D RRR kembali di pertahankan di 4,00%, begitu juga dengan Deposti Facility 3,25% dan suku bunga Lending Facility 4,75% di bulan Oktober. Rupiah menguat hampir 1,7% dari Rp14,880/USD menjadi Rp14,625/USD, hal tersebut salah satunya disebabkan oleh aliran dana asing yang masuk ke sistem finansial Indonesia yang disebabkan oleh daya tarik imbal hasil yang masih menarik dan kestabilan perekonomian nasional. Rupiah diperkirakan akan terus menguat karena defisit transaksi berjalan yang rendah dan likuiditas global yang masih besar.
Cadangan devisa masih cukup tinggi di USD 133,7 miliar di bulan Oktober, meskipun terjadi penurunan dari bulan September di USD 135,2 miliar. Penurunan cadangan devisa di Oktober lebih dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah. Menurut kami, BI akan kembali menaikan cadangan devisa jika melihat Rupiah yang terus menguat. BI Indonesia akan lebih mengutamakan kestabilan nilai tukar dan ekspor untuk membantu perekonomian nasional yang sedang dalam tahap pemulihan.
PMI Manufacturing Indonesia kembali mengalami konstraksi pada bulan September

PMI Manufacture Indonesia belum mampu kembali ke zona ekspansi di atas 50 dan berada di 47,8 meskipun Jakarta sudah kembali pada PSBB transisi. Penyebab utama masih disebabkan oleh penanganan penyebaran Covid – 19 sehingga menyebabkan produksi dan permintaan baru terus menurun. Maka dari itu, perusahaan – perusahaan mengurangi jumlah karyawan, persediaan dan aktifitas pembelian. Disamping itu, perusahaan juga menghadapi tekanan margin dimana harga input terus meningkat namun output terjadi penurunan. Hal tersebut sudah kita pernah kita sampaikan bahwa pembukaan dan penutupan melalui PSBB ketat akan membuat pelaku bisnis menjadi ragu untuk mengambil resiko bisnis untuk kembali beraktifitas secara normal.
Sejalan dengan hal di atas IKK kembali mengalami penurunan ke 79,0 di bulan Oktober lebih rendah dibandingkan dengan 83,4 di bulan September. Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) dan Indeks Kondisi Ekonomi (IKE) juga melanjutkan penurunan di bulan Oktober 51,5 dan 106,6 dari bulan September 54,1 dan 112,6. Keyakinan konsumen terhadap penghasilan saat ini melemah disebabkan belum pulihnya penghasilan konsumen baik yang bersifat rutin (gaji/honor) maupun omset usaha seiring masih diberlakukannya kebijakan PSBB.
Penjualan kendaraan roda 4 dan roda 2 menunjukkan peningkatan

Penjualan kendaran roda empat terus membaik dengan mencatatakan peningkatan penjualan pada bulan September sebesar 30% mom menjadi 48,6 ribu unit dibandingkan bulan sebelumnya di 37,3 ribu unit. Namun angka tersebut masih mencatatkan penurunan penjualan 47,8% yoy meskipun terus menyempit penurunan tersebut. Jika penjualan konsisten di kisaran 30% mom per bulan untuk tiga bulan terakhir, maka total unit yang terjual selama tahun 2020 ada pada kisaran 624 ribu unit yang berarti terjadi penurunan sekitar 40% yoy dari penjualan roda empat tahun 2019 di 1,03 juta unit.
Kabar baik juga datang dari penjualan motor di bulan September yang mencatatkan 381 ribu unit, naik 20% mom atau turun 33,2% yoy. Jika penjualan dapat tumbuh secara konsisten di 20% mom, maka akumulasi penjualan motor di 2020 mencapai setidaknya 4,5 juta (-30% yoy) dimana penjualan tahun sebelumnya hampir mencapai 6,5 juta unit.
DISCLAIMER
Pendapat yang diungkapkan dalam artikel adalah untuk tujuan informasi umum saja dan tidak dimaksudkan untuk memberikan saran atau rekomendasi khusus untuk individu atau produk keamanan atau investasi tertentu. Ini hanya dimaksudkan untuk memberikan edukasi tentang industri keuangan. Pandangan yang tercermind dalam konten dapat berubah sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan. Seluruh data kinerja dan return investasi yang tertera di artikel ini tidak dapat digunakan sebagai dasar jaminan perhitungan untuk membeli atau menjual suatu efek. Data tersebut merupakan catatan kinerja berdasarkan data historis dan bukan merupakan jaminan atas kinerja suatu efek di masa mendatang. Investasi melalui reksa dana mengandung risiko. Investor wajib membaca dan memahami prospektus sebelum memutuskan untuk berinvestasi melalui reksa dana.